![]() |
| Karerek, S.Sos., M.I.Kom - Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sriwijaya |
PUYANG - Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam beberapa tahun terakhir telah mengubah wajah berbagai bidang, termasuk jurnalisme.
Teknologi ini tidak lagi berada di ruang laboratorium atau sekadar wacana futuristik, melainkan telah hadir dan digunakan secara nyata dalam praktik jurnalistik sehari-hari.
Mulai dari pengecekan fakta teks, verifikasi gambar dan video, analisis suara, hingga pengolahan data berskala besar, AI menawarkan efisiensi yang sebelumnya sulit dibayangkan.
Sebagai akademisi ilmu komunikasi bidang kajian jurnalistik, sekaligus pernah mengikuti pelatihan AI bagi akademisi yang diselenggarakan AJI Indonesia pada 2024, serta memiliki pengalaman sebagai wartawan di Koran Sindo dan Gatra.com pada periode 2016–2018, saya melihat kehadiran AI dalam jurnalisme perlu disikapi secara kritis dan proporsional.
AI tidak bisa dipahami semata-mata sebagai ancaman, tetapi juga tidak boleh diterima tanpa refleksi etis dan profesional.
Saat ini, berbagai tools berbasis AI dapat diakses secara luas oleh jurnalis.
Sebagian besar tersedia secara gratis, sementara lainnya berbayar dengan fitur yang lebih kompleks. Alat-alat ini digunakan untuk mendukung kerja verifikasi—sebuah prinsip fundamental dalam jurnalisme—mulai dari memeriksa keaslian teks, mendeteksi manipulasi visual, hingga mengidentifikasi potensi deepfake.
Bahkan, foto dan video kini dapat diproduksi sepenuhnya menggunakan AI, sesuatu yang menantang konsep autentisitas dalam pemberitaan.
Dalam praktiknya, pemanfaatan AI juga telah masuk ke ruang redaksi media arus utama. Eksperimen penggunaan news anchor berbasis AI oleh TVOne, misalnya, menunjukkan bagaimana teknologi mulai mengambil peran dalam penyajian berita.
Sementara itu, media internasional seperti BBC telah lama memanfaatkan big data dan jurnalisme data untuk menyajikan informasi secara lebih komprehensif dan kontekstual.
Fenomena ini menandai bahwa AI telah menjadi bagian dari ekosistem jurnalisme kontemporer. Namun, di tengah geliat pemanfaatan teknologi tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah AI akan menggantikan peran wartawan di masa mendatang?
Pertanyaan ini menjadi relevan mengingat pengembangan AI terus dilakukan secara masif oleh perusahaan di berbagai sektor, termasuk industri media yang berada dalam tekanan ekonomi dan kompetisi kecepatan informasi.
Menurut saya, meskipun AI mampu mengolah data dengan cepat dan menghasilkan konten secara otomatis, terdapat batas-batas fundamental yang tidak dapat dilampaui oleh mesin. Kerja jurnalistik tidak hanya berkaitan dengan pengolahan informasi, tetapi juga dengan kehadiran manusia di lapangan.
Menggali data secara langsung, membangun kepercayaan dengan narasumber, serta melakukan investigasi terhadap informasi yang bersifat rahasia atau berada di wilayah dengan keterbatasan akses internet adalah kerja-kerja yang membutuhkan intuisi, keberanian, dan kepekaan sosial—sesuatu yang tidak dimiliki oleh AI.
Lebih dari itu, jurnalisme pada hakikatnya adalah kerja nurani. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme menegaskan bahwa loyalitas utama jurnalisme adalah kepada warga.
Prinsip ini menempatkan wartawan sebagai subjek moral yang bertanggung jawab atas dampak sosial dari setiap informasi yang disampaikan. Dalam konteks ini, peran manusia dalam jurnalisme tidak akan tergantikan, karena mesin tidak memiliki empati, nilai moral, maupun kesadaran etis.
Oleh karena itu, AI seharusnya diposisikan sebagai asisten bagi jurnalis, bukan sebagai pengganti. Teknologi ini dapat membantu mempercepat proses kerja, memperkuat verifikasi, dan memperkaya penyajian data, tetapi keputusan editorial tetap harus berada di tangan manusia.
Di sisi lain, persoalan etika, profesionalisme, dan tanggung jawab publik dalam produksi jurnalistik menuntut upaya sadar dari seluruh pihak terkait. AI, yang bekerja berdasarkan data yang telah tersedia dan tersebar di internet, belum mampu menjangkau dimensi etis dan normatif tersebut secara utuh.
Kehadiran AI memang akan berdampak pada perubahan pola kerja jurnalistik. Namun, perubahan ini tidak serta-merta menghapus peran jurnalis sebagai aktor utama dalam menyampaikan fakta dan informasi secara akurat kepada publik.
Justru di tengah banjir informasi dan potensi disinformasi berbasis teknologi, peran jurnalis profesional semakin penting sebagai penjaga akurasi dan kredibilitas.
Dalam konteks ini, peran akademisi dan perguruan tinggi menjadi sangat strategis. Dunia pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menyelaraskan pemanfaatan AI dengan nilai-nilai dan etika jurnalistik.
Penggunaan AI harus tetap mematuhi kaidah kode etik dan kode perilaku jurnalistik, serta tidak bertentangan dengan berbagai regulasi yang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, Undang-Undang Penyiaran, hingga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pada akhirnya, masa depan jurnalisme tidak ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang digunakan, melainkan oleh sejauh mana manusia mampu menjaga nilai, etika, dan tanggung jawab sosial dalam setiap praktik jurnalistik. AI dapat menjadi alat yang memperkuat jurnalisme, selama tetap berada dalam kendali nurani manusia.
Penulis: Karerek, S.Sos., M.I.Kom - Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sriwijaya
