![]() |
| Wulan Rahmadhani S.S (kiri) & Prof Isnawijayani, M.Si., Ph.D (kanan) Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi & Guru Besar Komunikasi Universitas Bina Darma Palembang. (Foto: Dok) |
PUYANG - Kita sebagai generasi Z lahir saat internet sedang tumbuh, dan besar ketika media sosial meledak. Sejak bangun tidur sampai menjelang tidur lagi, sebagian besar dari kita menggenggam layar, menatap dunia dari balik story, reels, atau FYP.
Tapi di tengah kebebasan berekspresi yang kita rayakan setiap hari, muncul pertanyaan yang semakin sulit diabaikan: siapa sebenarnya yang mengendalikan siapa?
Sebagian dari kita merasa media sosial adalah ruang kreatif, tempat untuk menyuarakan opini, belajar hal baru, bahkan mencari nafkah.
Tak sedikit teman-teman kita yang berhasil jadi content creator, freelance digital, atau aktivis daring sejak usia muda. Hebat? Tentu.
Media sosial membuka peluang tanpa batas, menjembatani ide, dan memperluas jangkauan kreativitas.
Namun seperti dua sisi mata uang, media sosial juga membawa beban psikologis yang tidak ringan.
Banyak dari kita, sadar atau tidak, mulai menilai harga diri berdasarkan jumlah likes, views, atau komentar. Kita jadi lebih sibuk memikirkan “postingan terbaik” daripada perasaan sendiri. Kadang, hidup kita terasa seperti kompetisi visual tanpa garis akhir.
Kehidupan yang dikurasi agar terlihat menarik di layar sering kali menyembunyikan kekosongan di dalam. Kita tersenyum untuk kamera, tapi lelah di balik layar. Lelah, tapi tidak bisa lepas.
Ini bukan sekadar soal “terlalu sering main HP”. Ini soal bagaimana sistem di balik media sosial bekerja. Algoritma dirancang untuk membuat kita betah berlama-lama, bahkan tanpa sadar.
Menurut situs “The Global Statistics”, “Average daily time spent using Social Media” di Indonesia adalah 3 jam 17 menit, salah satu angka tertinggi di dunia.
Setiap detik yang kita habiskan di sana bukan kebetulan, melainkan hasil rekayasa psikologis yang mempertahankan perhatian kita selama mungkin.
Ia memberi ilusi koneksi, padahal yang sering kita rasakan justru kesepian. Kita dikelilingi notifikasi, tapi merasa hampa. Inilah paradoks media sosial—kita lebih terhubung dari sebelumnya, namun semakin jauh dari diri sendiri.
Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya percaya literasi digital tidak boleh berhenti pada kemampuan teknis. Bukan sekadar tahu cara membuat konten yang viral, tetapi juga memahami bagaimana konten bekerja pada pikiran dan emosi kita.
Kita perlu kritis, bukan hanya terhadap informasi yang kita konsumsi, tetapi juga terhadap kebiasaan kita sendiri saat berselancar di dunia digital. Siapa yang kita ikuti, kenapa kita mengikuti, dan bagaimana perasaan kita setelahnya—semuanya penting untuk disadari.
Media sosial bukan musuh. Ia adalah alat—dan seperti alat lainnya, ia bisa membangun atau menghancurkan, tergantung siapa yang memegang kendali.
Tapi jika kita tidak belajar mengatur jarak dengannya, kita bisa jadi korban dari sistem yang kita kira kita kuasai. Kita sibuk membangun persona digital agar diterima, padahal yang sering terlupakan adalah versi diri yang nyata di luar layar.
Mungkin sudah saatnya kita belajar “detoks digital”. Bukan untuk meninggalkan media sosial sepenuhnya, melainkan untuk menata ulang hubungan kita dengannya.
Misalnya dengan membatasi waktu layar, menyaring akun yang diikuti, atau sekadar berhenti sejenak sebelum menekan tombol “unggah”. Hal-hal sederhana ini bisa membantu kita kembali merasa hadir di dunia nyata—bukan hanya eksis di dunia maya.
Kita tidak harus memilih antara “offline” atau “online”, tapi kita perlu sadar kapan keduanya mulai saling menelan. Karena pada akhirnya, kebebasan yang sejati bukan hanya kemampuan untuk berbagi apa pun yang kita mau, melainkan kemampuan untuk berhenti ketika kita ingin.
Jadi, pertanyaan yang seharusnya kita renungkan bukan lagi “seberapa sering kita menggunakan media sosial”, tetapi: siapa yang sebenarnya sedang menggunakan siapa?
Penulis: Wulan Rahmadhani S.S & Prof Isnawijayani, M.Si., Ph.D
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi & Guru Besar Komunikasi Universitas Bina Darma Palembang.
