terkini

Mengulik Sejarah Jembatan Ampera: Dari Simbol Rakyat Hingga Ikon Kota Palembang

Monday, November 03, 2025, Monday, November 03, 2025 WIB Last Updated 2025-11-02T23:00:00Z

Suasana ramai di atas jembatan Ampera. (Foto: Daffa Aqilah Febriyani)


PUYANG - Di balik megahnya Jembatan Ampera yang membentang kokoh di atas Sungai Musi, tersimpan kisah panjang tentang sejarah dan kebanggaan masyarakat Palembang. 


Jembatan ini bukan sekadar penghubung antarsisi kota, melainkan simbol perjuangan rakyat sekaligus saksi bisu perkembangan budaya dan peradaban di kota tertua di Indonesia.


Heri, pegawai Dinas Kebudayaan Kota Palembang bidang cagar budaya, menjelaskan bahwa Jembatan Ampera awalnya dibangun dengan fungsi mekanis untuk memudahkan lalu lintas kapal besar di Sungai Musi.


“Dulu, jembatan diangkat secara manual oleh operator agar kapal niaga bisa lewat. Namun sekarang sistem pengangkatannya sudah tidak difungsikan lagi karena alasan keselamatan dan efisiensi,” ujarnya.


Menurut Heri, mesin hidrolik pengangkat jembatan yang dibuat oleh Jepang kini masih tersimpan di bagian atas menara kaca. 


“Awalnya, jembatan ini bernama Jembatan Soekarno, tapi kemudian diganti menjadi Ampera, yang berarti Amanat Penderitaan Rakyat,” tambahnya.


Meski sudah tidak dioperasikan sejak tahun 1970-an, dua menara merah Ampera tetap menjadi ikon kebanggaan warga Palembang. 


“Warna merah melambangkan keberanian dan juga dipengaruhi oleh budaya Tionghoa. Tapi dulunya, jembatan ini pernah berwarna kuning dan abu-abu,” ungkap Heri.


Selain Jembatan Ampera, sejarah Palembang juga tidak lepas dari kejayaan Kerajaan Sriwijaya, salah satu kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara. 


Bukti tertua keberadaan kota ini tercatat dalam Prasasti Kedukan Bukit, yang ditemukan oleh C.J. Batenburg pada 29 November 1920 di kawasan 35 Ilir.


“Prasasti ini menunjukkan bahwa Palembang sudah ada sejak tahun 683 Masehi. Ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno, prasasti aslinya kini disimpan di Museum Nasional,” jelas Heri.


Selain Kedukan Bukit, peninggalan sejarah lain seperti Prasasti Talang Tuwo, Telaga Batu, hingga situs Boom Baru memperkuat bukti kejayaan Sriwijaya. 


Namun, Heri menyayangkan bahwa banyak situs bersejarah kini mulai sulit ditemukan akibat pesatnya pembangunan kota.


Sebagai bagian dari tim pelestarian budaya, Heri menilai ada dua tantangan utama dalam menjaga warisan sejarah Palembang. 


Melestarikan bangunan bersejarah tanpa mengubah bentuk aslinya dan menumbuhkan minat generasi muda terhadap budaya lokal.


“Kami rutin menggelar kegiatan seperti pekan seni, festival tari, serta promosi museum di media sosial. Tapi tantangan terbesar tetap bagaimana menarik minat masyarakat untuk lebih peduli,” ujarnya.


Bicara Palembang tak lengkap tanpa pempek. Heri menegaskan bahwa makanan ini merupakan hasil kreativitas masyarakat Palembang sendiri, bukan pengaruh budaya luar.


“Dulu, karena ikan di Sungai Musi sangat melimpah, masyarakat berinovasi mencampurnya dengan tepung dan membuat cuko. Dari situlah lahir pempek,” jelasnya.


Soal asal nama, Heri menambahkan bahwa istilah “pempek” kemungkinan berasal dari sapaan khas Tionghoa, “Apek” atau “Empek”, yang berarti “mamang” atau “om”, mengacu pada penjual pempek pada masa itu. (Daffa Aqilah Febriyani & Putri Ayu Kharisma)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Mengulik Sejarah Jembatan Ampera: Dari Simbol Rakyat Hingga Ikon Kota Palembang

Terkini

Topik Populer