terkini

Toxicity as Perfomance: Ketika Streamer Mengubah Makian Menjadi Konten dan Ditiru

Sunday, December 14, 2025, Sunday, December 14, 2025 WIB Last Updated 2025-12-14T09:52:19Z

Vionita Anjani, S.I.Kom., M.I.Kom - Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sriwijaya. (Foto: Dok)


PUYANG - Pada dasarnya, ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, akan ada nilai moral atau kesantunan yang mengiringi proses komunikasi tersebut untuk menghindari kesalahpahaman.


Namun Vani dan Sabardilla (2020) lewat jurnal mereka yang berjudul “The Impoliteness of The Millenial Generation in Using Language on Twitter Social Media”, mengatakan bahwa tidak semua orang menaruh perhatian kepada prinsip-prinsip kesantunan berbahasa dalam proses komunikasi. Kata-kata kasar, makian atau umpatan yang seharusnya jauh dari nuansa kesantunan tadi telah beralih fungsi. 


Stenstrom (2020) menjelaskan penggunaan umpatan telah menjadi salah satu cara beberapa individu terutama Gen Z membangun posisi sosial dalam sebuah kelompok sebaya dan menantang pandangan tradisional tentang apa yang dinilai pantas atau tidak. 


Perilaku memaki atau toxic behaviour pada zaman ini tidak hanya menjadi cara untuk meluapkan emosi seorang individu, tetapi sudah berkembang menjadi sebuah elemen dalam industri hiburan atau performance yang dipertontonkan, direproduksi dan dinormalisasi. 


Streamer memasukkan elemen ini ke dalam sebuah konten dan penonton dalam hal ini belajar untuk mengadopsi dan mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari mereka, baik untuk meluapkan emosi, ataupun sekedar mengucapkannya sebagai nilai humor dalam kegiatan berkomunikasi mereka. 


Kegiatan ini berakibat pada penormalisasian sehingga makna dari kata-kata kasar ini menjadi semakin cair dan lentur dalam penggunaannya.


Lewat jurnal yang berjudul “Why Is Generation Z Prone to Swearing?”, ditulis oleh Sigit Nugroho dan teman-teman, Gen Z memanfaatkan kata-kata kasar dengan cara yang lebih kreatif. 


Pernyataan ini dibuktikan dengan munculnya praktik-praktik yang menggeser kata-kata kasar menjadi lebih dapat diterima dan meminimalisir bentuk agresif dari makian tersebut. 


Salah satu contohnya adalah kata-kata “anjing” yang digeser cara penyebutannya menjadi “anjir”, “anjay” atau “njir”. Transformasi ini menjadi bentuk pelembutan untuk mengaburkan tingkat agresif dari kata tersebut, namun tetap hidup sebagai ekspresi yang intens. 


Kata-kata kasar yang ditransformasi ini digunakan tidak hanya sebagai serangan, tetapi juga sebagai cara mereka untuk mengekspresikan emosi, baik itu senang, sedih, atau untuk menunjukkan kedekatan antara komunikator dan komunikan. 


Makian yang telah dibentuk lebih kreatif dan fleksibel tadi menjadikan pengucapannya tidak lagi tabu karena penggunaannya yang sudah mengglobal. 


Sisi menghibur dari sebuah makian yang dibawa oleh para streamer online mendukung kelenturan perilaku toxic behaviour ini lewat konten-konten yang menghibur tadi sehingga hilanglah resistensi moral para penonton. 


Pada ruang streaming, komunikasi yang mengarah kepada agresi verbal ini tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran kesopanan. 


Ada kepentingan streamer untuk memenuhi kebutuhan engagement dari konten-konten yang ia unggah, dan agresi verbal menjadi salah satu cara untuk mendapatkan hal tersebut. 


Pertanyaannya adalah kenapa agresi verbal? Karena agresi verbal merupakan elemen yang kuat dan yang paling heboh untuk menciptakan ketertarikan si penonton dalam ruang digital. 


Amarah yang dijual dalam bentuk “toxic” namun lucu menjadi hiburan yang menarik dan berakibat pada tingginya engagement dari para penonton. 


Peristiwa ini menjadi sebuah fenomena dalam komunikasi digital di mana kesopanan atau etika dalam berkomunikasi tidak lagi dipedulikan selama konten yang dibentuk dapat menarik perhatian dan keuntungan yang lebih banyak. 


Streamer secara tidak langsung menghilangkan rasa tabu dalam pengucapan kata-kata kasar tersebut, sehingga penonton tidak lagi ragu untuk mengucapkannya baik ketika bermain game maupun ketika berkomunikasi dengan teman sepantarannya. 


Jurnal yang berbicara tentang “Gen Z Era Linguistic Impoliteness on Using TikTok on Social Media”, ditulis oleh Adika Dwi dan teman-teman memperjelas bahwa penggunaan kata-kata kasar meningkat drastis karena lingkungan digital menyediakan panggung tersebut. Ketidaksopanan dinilai lucu, relevan dan apa adanya. 


Komunikasi digital membawa kita pada era baru di mana agresi verbal bukan lagi hal yang perlu disembunyikan pengucapannya, tetapi justru dipentaskan. 


Performa “toxic” dalam komunikasi digital yang dipertontonkan oleh para streamer berpeluang untuk menjadi sebuah budaya yang menghasilkan identitas baru bagi para penontonnya terutama Gen Z yang selalu menggunakan kata-kata kasar dalam berkomunikasi baik di dunia digital maupun di kehidupan sehari-harinya. 


Pada titik ini, persoalan tentang perilaku toxic tidak hanya tentang perkataan yang kasar, tetapi ia menjadi cermin tentang siapa yang kita tonton, dan kita tiru. Akhir dari yang kita tonton dan tiru ini akan berujung pada pembentukan budaya komunikasi seperti apa yang akan kita bangun di dunia digital era ini. 


Penulis: Vionita Anjani, S.I.Kom., M.I.Kom - Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sriwijaya


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Toxicity as Perfomance: Ketika Streamer Mengubah Makian Menjadi Konten dan Ditiru

Terkini

Topik Populer