terkini

Skandal Wedding Organizer by Ayu Puspita: Ketika Komunikasi Krisis Gagal Menjaga Kepercayaan

Thursday, December 11, 2025, Thursday, December 11, 2025 WIB Last Updated 2025-12-14T09:43:50Z

Muhammad Rifqi Farisi Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sriwijaya. (Foto: Dok)



PUYANG - Kasus penipuan Wedding Organizer by Ayu Puspita menjadi salah satu skandal terbesar yang mengguncang dunia jasa pernikahan belakangan ini. 


Bukan hanya karena banyak pasangan yang dirugikan secara finansial, tetapi karena skandal ini memperlihatkan betapa buruknya penanganan komunikasi krisis yang dilakukan pihak penyedia jasa tersebut.


Dalam setiap bisnis, terlebih di industri yang berhubungan langsung dengan momen paling sakral dalam hidup seseorang, krisis seharusnya menjadi sesuatu yang diantisipasi dengan matang. 


Ketika laporan korban mulai bermunculan, tidak ada langkah komunikasi yang terstruktur, konsisten, ataupun empatik dari pihak Wedding Organizer by Ayu Puspita.


Padahal, dalam teori Image Restoration yang dikemukakan oleh William Benoit, ada berbagai strategi pemulihan citra yang bisa digunakan untuk meminimalkan kerusakan reputasi.


Sayangnya, dari yang terlihat, hampir tidak ada satu pun strategi tersebut dijalankan dengan benar.


Menurut teori tersebut, ada beberapa elemen yang bisa (bahkan seharusnya) diambil Wedding Organizer by Ayu Puspita dalam menghadapi keadaan ini:


1. Mortification (Mengakui Kesalahan dan Meminta Maaf)

Langkah paling mendasar dalam komunikasi krisis adalah mengakui kesalahan secara jujur. Namun pihak Wedding Organizer tampak lebih memilih diam atau memberikan pernyataan yang tidak konsisten. Padahal, permintaan maaf tulus dapat menjadi pondasi awal pemulihan citra.


2. Corrective Action (Menunjukkan Upaya Memperbaiki Situasi)

Wedding Organizer seharusnya menjelaskan apa yang akan mereka lakukan untuk mengganti kerugian klien, bukan sekadar janji tanpa tindakan. Baik berupa pengembalian dana, penyaluran dana lewat pihak ketiga, ataupun pembentukan tim khusus penanganan pengaduan.


3. Reducing Offensiveness (Meredakan Dampak Negatif)

Komunikasi yang empatik dan terbuka bisa membantu mengurangi kemarahan publik. Namun yang terjadi justru sebaliknya, minim komunikasi dan minim klarifikasi, sehingga membuat netizen, terkhusus klien yang dirugikan makin marah.


4. Transparency (Keterbukaan Informasi)

Dalam era digital, keterlambatan atau ketidakjelasan informasi hanya memperburuk keadaan. Bahkan satu unggahan media sosial saja bisa sangat menentukan arah opini publik. Seharusnya pihak dari Wedding Organizer by Ayu Puspita bisa memberikan alasan mengapa kesalahan tersebut bisa terjadi.


Wedding Organizer yang baik bukan sekadar menjual jasa. Mereka memegang sebuah kepercayaan, sebuah titipan dari pasangan yang mempercayakan momen paling berharga dalam hidup mereka. 


Wedding Organizer yang bertanggung jawab akan hadir bukan hanya saat menerima pembayaran, tetapi terutama ketika terjadi masalah.


Itulah esensi profesionalisme dalam industri ini, yakni komitmen untuk menjaga kepercayaan, bukan sekadar meraup keuntungan.


Kasus ini seharusnya menjadi pembelajaran besar bahwa kualitas sebuah Wedding Organizer bukan hanya dilihat dari foto portofolio atau testimoni, tetapi dari bagaimana mereka bertanggung jawab ketika situasi terburuk terjadi. 


Penulis: Muhammad Rifqi Farisi Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sriwijaya


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Skandal Wedding Organizer by Ayu Puspita: Ketika Komunikasi Krisis Gagal Menjaga Kepercayaan

Terkini

Topik Populer