terkini

Kerajinan Lakuer, Jejak Perdagangan Cina dan Sriwijaya di Palembang

Thursday, November 06, 2025, Thursday, November 06, 2025 WIB Last Updated 2025-11-05T23:00:00Z

Seorang pengunjung sedang mengamati lakuer yang terpajang di museum  Kerajaan Sriwijaya. (Foto: Putri Ayu Kharisma)



PUYANG - Lakuer atau lak merupakan salah satu kerajinan khas Palembang yang kaya warna dan memiliki sejarah panjang. 


Seni ini tidak hanya mencerminkan keindahan, tetapi juga menjadi bukti hubungan dagang antara Cina dan Kerajaan Sriwijaya pada masa lampau.


Menurut Dede Septiana (37), pemandu Museum Kerajaan Sriwijaya, istilah lakuer berasal dari kata lac, yaitu bahan damar alami yang dihasilkan oleh serangga Laccifer lacca. 


Serangga ini hidup bergerombol di pohon perdu, seperti pohon kemalo yang banyak tumbuh di wilayah Sumatera Selatan. Dari bahan inilah proses pembuatan lakuer dimulai.


“Lakuer sebenarnya berasal dari Cina. Berdasarkan catatan Dinasti Ming, teknik ini sudah dikenal sejak abad ke-14 hingga ke-18, bahkan sudah digunakan pada masa Dinasti Chou untuk membuat peralatan makan dari lak hitam,” jelas Dede.


Teknik pembuatan lakuer menyebar ke berbagai negara, termasuk Palembang, melalui jalur perdagangan maritim. Hubungan dagang antara Cina dan Sriwijaya yang terjalin sejak abad ke-7 Masehi menjadi jalur penting pertukaran barang dan budaya.


“Penyebaran teknik ini ke Palembang terjadi melalui perdagangan. Karena hubungan dagang waktu itu kuat sekali, pengaruh budaya Cina mudah diterima di sini,” tambahnya.


Seiring waktu, masyarakat Palembang mulai mengembangkan teknologi lakuer dengan sentuhan lokal. Motif, warna, dan fungsi lakuer pun mengalami adaptasi sesuai budaya setempat.


Lakuer tidak hanya menjadi pajangan, tetapi juga memiliki fungsi sosial dan religius. Ia sering digunakan dalam upacara adat, perlengkapan rumah tangga, hingga benda seni bernilai tinggi.


“Kadang lakuer dipakai untuk upacara, kadang juga jadi perlengkapan sehari-hari. Tapi banyak juga yang dibuat karena nilai estetikanya,” kata Dede.


Ragam hias lakuer terbagi menjadi dua, yaitu motif flora dan fauna. Motif flora menggambarkan bunga seperti teratai, melati, dan sulur-suluran. 


Sementara motif fauna menghadirkan sosok makhluk mitologi seperti naga berbadan singa (kiling), burung hong, merak, dan phoenix.


Dari sisi warna, lakuer Palembang dikenal dengan warna mencolok seperti merah kesumba, kuning emas, hitam, dan merah darah—warna yang mencerminkan kemewahan dan keanggunan klasik.


“Warna-warna itu dipilih karena memberi kesan mewah dan berkelas. Kalau dilihat langsung, nuansa klasiknya terasa sekali,” tutur Dede.


Kini, lakuer bukan sekadar kerajinan tangan, tetapi simbol akulturasi budaya dan sejarah panjang perdagangan internasional pada masa kejayaan Sriwijaya. 


Melalui setiap ukiran dan lapisan warnanya, lakuer menghadirkan kembali kisah lintas budaya yang pernah hidup di Palembang. (Putri Ayu Kharisma)


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kerajinan Lakuer, Jejak Perdagangan Cina dan Sriwijaya di Palembang

Terkini

Topik Populer