![]() |
Perlengkapan kelahiran tradisi Palembang yang terpajang di Museum SMB II. (Foto: Daffa Aqilah Febriyani) |
PUYANG - Kota Palembang tidak hanya dikenal karena keindahan Sungai Musi dan megahnya Jembatan Ampera, tetapi juga karena kekayaan budayanya yang masih lestari hingga kini.
Salah satu tradisi yang menarik perhatian adalah ritual menyambut kelahiran bayi, mulai dari Nimbang Bunting hingga Penegak Jurai, yang sarat dengan makna filosofis dan nilai spiritual masyarakat Palembang.
Nimbang Bunting, Tradisi Tujuh Bulanan Ala Palembang
Sebelum bayi lahir, masyarakat Palembang memiliki tradisi bernama Nimbang Bunting yang dilakukan saat usia kehamilan memasuki tujuh bulan.
Menurut Heri (47), petugas Dinas Kebudayaan Kota Palembang, tradisi ini merupakan bentuk doa bersama agar ibu dan bayi diberikan keselamatan hingga proses persalinan.
“Ritual ini adalah ungkapan syukur dan doa supaya ibu dan bayi sehat sampai lahiran,” jelas Heri.
Dalam prosesi Nimbang Bunting, sang ibu duduk di atas papan pasang sambil mengenakan kain sewet yang dililit seperti kemben.
Ia kemudian ditimbang dengan meletakkan tangan di atas timbangan sebagai simbol keterikatan batin antara ibu dan janin.
Uniknya, tubuh sang ibu juga dibaluri bedak tiga warna: putih, merah, dan hijau yang melambangkan harapan agar kehidupan anak kelak penuh warna dan keberkahan.
Prosesi ini dilengkapi dengan pembacaan surat Yasin, ayat-ayat Al-Qur’an, dan kitab Munakib Syekh Muhammad Saman, seorang ulama Makkah yang dikenal berbakti kepada orang tua.
Setelah doa selesai, ibu hamil dimandikan oleh ibunya, ibu mertua, serta kerabat perempuan terdekat. Setiap kali disiram air, ia harus mengganti kain sewet-nya.
Proses ini dilakukan sebanyak tujuh kali dan ditutup dengan makan nasi kunyit serta ayam panggang sebagai simbol rasa syukur.
Penegak Jurai, Simbol Penerus Keturunan
Usai kelahiran, masyarakat Palembang juga memiliki tradisi yang disebut Penegak Jurai, terutama ketika bayi laki-laki lahir.
Dalam budaya Palembang, anak laki-laki dianggap sebagai penerus garis keturunan keluarga atau penegak jurai.
“Anak laki-laki itu simbol penerus keluarga, penegak jurai,” ujar Heri.
Begitu bayi lahir, keluarga besar akan berkumpul untuk menyambut kehadirannya. Sang bayi kemudian dibersihkan dan tali pusatnya dipotong.
Jika bayi berjenis kelamin laki-laki, ayah atau kakek akan mengazankan di telinga kanan dan mengiqamahkan di telinga kiri. Sedangkan untuk bayi perempuan cukup diiqamahkan saja.
“Tujuannya agar kalimat pertama yang didengar bayi adalah kebesaran Allah,” tambahnya.
Warisan Nilai dan Doa dalam Kehidupan Masyarakat Palembang
Rangkaian tradisi ini bukan sekadar ritual turun-temurun, melainkan juga bentuk pelestarian budaya dan ungkapan rasa syukur.
Melalui setiap tahapnya, tersimpan nilai kebersamaan, doa, dan penghormatan terhadap kehidupan.
“Adat Palembang itu memang kaya dan sarat nilai. Setiap tradisi punya makna tersendiri bagi masyarakatnya,” tutup Heri. (Putri Ayu Kharisma)
